WAKAFDT.OR.ID | Setiap Muslim pasti ingin segera menyempurnakan kelima rukun Islam sebagai bentuk ketaatannya pada Allah Taala. Sebagian dari kita mungkin mampu untuk berangkat umrah berkali-berkali setiap tahun. Tetapi, faktanya banyak juga yang meskipun mampu secara finansial namun sayangnya belum bisa segera memenuhi undangan khusus dari Allah padahal hanya sekali seumur hidup, yaitu berhaji.
Berbagai macam alasan bisa menjadi faktor penghalang keberangkatan haji seseorang. Ada yang memang masih menunggu antrian, tapi ada juga yang sebenarnya sudah bisa berangkat tapi ada keperluan biaya atau urusan lain yang cukup mendesak sehingga terpaksa menunda. Maka itu, bagi yang sudah memantapkan diri menerima panggilan berhaji dari Allah, ini adalah sebuah indikasi yang baik bahwa Allah telah membukakan jalan yang luas untuk kita bertobat dan berharap keridhoan-Nya.
Saat berhaji, bukan hanya kemampuan fisik setiap orang akan teruji, namun juga akan menunjukkan seberapa besar kesalehan kita dari dua sisi, yaitu kesalehan hablumminallah dan hablumminannas.
Boleh jadi kita sangat taat menjalankan semua rukun dan sunnah haji sebagai wujud Hablumminallah. Kita juga menjadi terbiasa menjalankan shalat wajib di masjid berjamaah di awal waktu setiap hari. Bahkan ada yang bisa khatam Al Qur’an lebih dari sekali. Namun sayangnya, terkadang kita lupa dengan yang dinamakan kesolehan Hablumminannas. Gampangnya untuk menilai seberapa besar level Hablumminannas, bisa kita lihat dari kondisi di sekitar kita, terutama pada saat berinteraksi antar sesama jamaah di tanah suci.
Misalnya saat tawaf, tanpa kita sadari kita akan lebih agresif melindungi diri sendiri dan keluarga dari dorongan dan himpitan jamaah lain. Bahkan sering kali kita tidak mau membuka jalan bagi jamaah lain yang ingin melintas memotong jalur kita. Yang penting tawaf kita sukses dengan cepat tanpa hambatan. Tidak peduli kalau harus mendorong, menggeser dan berebut tempat dengan jamaah yang sudah lanjut usia.
Saat harus menyelesaikan Sa’i kita mungkin akan berjalan meninggalkan jamaah lain meski berasal dari satu grup travel karena mereka berjalan sangat lamban. Kita berpikir nanti juga akan bertemu setelah tujuh putaran Sa’i.
Saat ada pembagian suvenir dan makanan yang berlimpah, kita ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri tanpa memikirkan bagian orang lain yang ada di antrian belakang atau mungkin sedang lelap beristirahat. Kita berpikir bukan salah kita kalau jamaah lain tidak kebagian makanan atau suvenir gratisan, mungkin bukan rejeki mereka.
Lebih buruk lagi mungkin saja tanpa kita sadari kita selalu berhitung-hitung dengan apa yang kita terima selama haji supaya tidak terlalu terasa rugi dengan biaya haji yang telah kita bayarkan. Tak ayal, ini adalah ujian yang mau tidak mau kita jalani saat menyelesaikan setiap prosesi haji. Menanggalkan sifat egois dan kurang peka terhadap sesama menjadi salah satu pembelajaran penting selama haji untuk menaikkan level Hablumminannas.
Sebenarnya prosesi puncak haji yang kita jalani selama enam hari bukanlah akhir dari ujian kesolehan kita di mata Allah. Justru setelah selesai berhaji, ujian yang lebih besar akan datang, yaitu di saat tidak ada lagi ustadz pendamping atau jamaah lain yang mengingatkan kita untuk menunjukkan akhlakul kharimah seorang Muslim.
Tabiat dan akhlak asli jamaah justru bisa terlihat setelah selesai menjalankan prosesi puncak haji namun masih harus menjalankan berbagai ibadah sunnah di tanah suci. Contohnya, sering kita lihat jamaah yang tidak segan menerobos antrian saat waktu makan atau menjalankan kegiatan bersama. Atau bahkan tidak malu lagi berdebat, padahal sudah menyerobot hak antrian orang lain. Tidak berkenan diingatkan dan mengambil sikap mengalah lagi, bahkan tidak bisa menjaga emosi dengan mengeraskan suara.
Di sinilah bagaimana akhlak seorang Muslim yang telah berhaji akan semakin diuji. Status “lulus haji” jangan hanya berhenti terpajang di sertifikat haji yang telah kita terima. Malahan, status ini menjadi pengingat sepanjang hayat bagaimana kita mempertanggungjawabkan “Ke-Islaman” kita pada Allah dan sesama.
Meski kenikmatan spiritual selama berhaji sangat berharga dan tak ada duanya, namun ibadah ini hanya diwajibkan oleh Allah satu kali seumur hidup. Kalau memang Allah memberikan kesempatan untuk berhaji kembali maka ini adalah nikmat yang sangat patut disyukuri. Bagaimanapun perlu kita resapi bahwa hikmah dari berhaji yang utama bukanlah Hablumminallah semata, namun juga Hablumminannas.
Jika kita mendapatkan kekayaan materi yang setara dengan mengulang berangkat haji khusus ataupun furadha yang ke sekian kali, ada baiknya kita berpikir untuk mengalihkannya ke dalam bentuk amal soleh yang menebar manfaat lebih banyak bagi kesejahteraan umat dan tentu pahalanya pun mengalir hingga akhir zaman, sebagaimana dicontohkan oleh sahabat Rasulullah, Utsman bin Affan, yaitu berwakaf.
Di tanah suci, aset wakaf Usman bin Affan bertebaran di mana-mana. Bukannya berkurang dengan berwakaf, justru kekayaannya selama 14 abad ini terus bertambah sepanjang zaman. Berawal dari wakaf sumur Utsman, kini bahkan harta wakaf Usman sudah merambah hingga ke bangunan komersial seperti hotel bintang lima di tanah haram.
Harta wakaf Utsman dan keluarganya InsyaaAllah menjadi bekal amal jariyah yang terus mengalir tanpa putus hingga hari kiamat. Untuk itu, berdoalah agar Allah juga mengabulkan cita-cita kita untuk bisa mendirikan masjid, rumah tahfidz, pesantren, atau rumah sakit untuk kaum dhuafa sebagai langkah berikutnya untuk menyempurnakan ibadah haji yang telah kita jalani.
Saat masih menjalankan ibadah haji, jarak kita berdoa dengan Allah terasa hanya sejengkal, terlebih saat wukuf di Arafah. Kalbu kita merasakan Allah berada sangat dekat. Sambil berlinang air mata, kita berharap agar setiap doa yang kita panjatkan didengar dan diijabah oleh Allah Taala karena para Malaikat turut menyaksikan dan mengaminkan doa kita.
Sumber: bwi.go.id