WAKAFDT.OR.ID | GAZA – Agresi Israel di Timur Tengah belum berhenti meski perjanjian gencatan senjata sudah diumumkan hampir sebulan lalu. Tak hanya di Gaza, Israel juga menyerang Tepi Barat dan Lebanon.
Pakta tersebut, yang ditetapkan pada 10 Oktober, telah mengurangi tekanan terhadap warga Palestina di Gaza, meskipun serangan Israel di sana terus berlanjut. Dan di wilayah lain, Israel masih melakukan serangan dari berbagai arah.
Aljazirah melaporkan, Lebanon, Suriah dan Tepi Barat telah menyaksikan serangan-serangan Israel pada minggu lalu, hal ini memberikan kepercayaan pada gagasan bahwa Israel sedang berusaha membuat negara-negara tetangganya tidak stabil dan lemah.
Para pejabat Amerika Serikat mengunjungi Israel minggu ini, namun pendukung terbesar Tel Aviv tampaknya tidak menunjukkan kesiapannya untuk meminta pertanggungjawaban negara tersebut atas permusuhan regionalnya, dan memusatkan perhatiannya pada Gaza.
Militer Israel telah membunuh lebih dari 1.000 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023 di Tepi Barat saja dan telah mengintensifkan upayanya untuk mencaplok wilayah pendudukan tersebut. Untuk pekan kedua berturut-turut, tentara dan pemukim Israel mengganggu dan menangkap warga Palestina yang mencoba memanen buah zaitun mereka.
Salah satu warga Palestina yang baru-baru ini ditahan oleh Israel telah dibebaskan selama gencatan senjata yang berlangsung singkat pada bulan Januari dalam pertukaran tahanan, kemudian ditangkap kembali, menurut kantor berita WAFA.
Kekerasan di lapangan juga disertai dengan retorika dari para pejabat Israel, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mendesak para pendukungnya untuk menekan Presiden AS Donald Trump agar mendukung aneksasi Tepi Barat.
Dia juga mengatakan bahwa Israel harus mendeklarasikan “kedaulatan” atas Tepi Barat yang diduduki, dengan mengatakan bahwa hal ini akan menghalangi “gagasan berbahaya tentang negara Palestina”.
Militer Israel sangat aktif di Suriah dalam beberapa hari terakhir, dengan media lokal melaporkan serangan hampir setiap hari ke wilayah Suriah di sepanjang perbatasan selatan.
Desember lalu, ketika rezim Presiden terguling Bashar al-Assad jatuh, Israel merambah wilayah Suriah dan menyerang infrastruktur militernya di seluruh negeri. Israel terus melanjutkan serangannya, meskipun pemerintahan baru Suriah belum membalas agresi Israel.
Serangan tersebut termasuk pengintaian, infiltrasi darat oleh tentara Israel, penangkapan dan penghilangan warga Suriah, dan pendirian pos pemeriksaan di wilayah Suriah, menurut media Suriah.
Agresi terbaru Israel terjadi pada Ahad pagi di desa al-Razaniyah dan Sayda al-Hanout, di pedesaan Quneitra, menurut laporan media pemerintah Suriah, SANA.
“Satu unit pasukan Israel, yang terdiri dari empat kendaraan militer, mendirikan pos pemeriksaan di antara kedua desa tersebut. Selama operasi tersebut, pasukan tersebut menahan seorang distributor roti lokal yang melayani desa-desa sekitar dekat Sayda, sebelum melepaskannya dan menarik diri dari daerah tersebut,” kata seorang reporter SANA.
Banyak desa di Quneitra, Suriah selatan, telah menjadi sasaran serangan Israel dalam beberapa pekan terakhir, menurut media Suriah Enab Baladi.
Pada sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 24 Oktober, Perwakilan Suriah untuk PBB Ibrahim Olabi mengatakan Israel harus menahan diri untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Suriah dan harus menghentikan serangannya ke wilayah Suriah.
Dia juga mengutuk pendudukan Israel yang terus berlanjut di wilayah Suriah, termasuk Dataran Tinggi Golan.
Olabi mengatakan praktik “agresif” Israel melanggar Perjanjian Pelepasan 1974 antara Suriah dan Israel. Israel sebelumnya mengatakan perjanjian tahun 1974 tidak berlaku lagi sejak jatuhnya Assad.**
Redaktur: Wahid Ikhwan
Sumber: Republika
 
															 
															